PASUKAN SALIB DAN MASYARAKATNYA DALAM PANDANGAN PENELITI MUSLIM


Oleh : Ahmad Dzakirin

Usamah Ibnu Munqidz dilahirkan pada 4 Juli 1095 di Kota Sheyzer, Suriah tepat 4 bulan setelah Paus Urbanus mendeklarasikan Perang Salib Pertama.

Dalam didikan agama yang kuat, Usamah tumbuh sebagai seorang diplomat, tentara dan sastrawan yang berakhlak mulia. Dia banyak mendampingi para pemimpin sekaligus komandan perang seperti Imaduddin Zanki, dan anaknya Nuruddin Mahmud Zanki dan yang terakhir Salahuddin Al ayubi.

Usamah turut berperang melawan pasukan Salib di sepanjang hidupnya dan mengalami sendiri berkali-kali pengalaman berada di ujung kematian. Namun Allah SWT menakdirkan kematiannya justru satu tahun setelah Salahuddin al Ayyubi sukses membebaskan Yerusalem dari pasukan Franks. Usamah menemui Rabb-nya dalam usia 93 tahun.

Ditengah pelbagai kesibukan dan kesiagaan perang (ribath), Usamah secara cermat mendokumentasikan perjalanan dan kesaksian hidupnya hingga menjelang akhir hayat, terutama pengalamannya berinteraksi dengan bangsa franks (yang kini mendiami wilayah Jerman) di kawasan Palestina dalam “Kitabul I’tibarbun”.

Dalam memoarnya, dia mengisahkan teknik kedokteran Franks yang dianggapnya aneh, terkesan sadis dan ketinggalan zaman. Dituturkannya pengalamannya bertemu dengan Dokter Nasrani, bernama Tsabit di Lebanon.

“Mereka membawakan kepadaku seorang prajurit yang bernanah di kakinya dan seorang perempuan yang suka mengigau. Segera aku memeriksa lukanya dan memberinya salep. Sedangka kepada wanita itu, aku memberikan obat penenang. Namun ketika datang dokter Frank. Dia segera mengambil alih pengobatan sembari mengatakan diriku tidak tahu apa-apa tentang teknik pengobatan.

Dokter itu memberi pilihan kepada prajurit yang kesakitan itu.

“Kamu memilih hidup dengan satu kaki atau mati dengan kedua kaki yang utuh?”

Prajurit itupun tak pelak memilih yang pertama.

“Datangkan satu prajurit yang kuat dan satu kapak yang tajam,” ujarnya singkat.

Seorang prajurit datang dengan kapak ditangan kanannya. Dokterpun meletakkan kaki pria yang luka itu diatas tatakan dan memerintahkan prajurit itu memotongnya. Prajurit itupun mengayunkan kapaknya di depan mataku namun sayang, kaki itu tidak langsung putus. Sekali lagi, prajurit itu mengayunkan kapaknya untuk kedua kali. Sumsum tulang pria itupun berhamburan namun kini mereka mendapati pasien itu tewas karena kesakitan.

Selanjutnya sang dokterpun mengobati wanita yang depresi tadi.
Dikatakannya, “Wanita itu kerasukan setan dan setan telah mengendalikannya.”

Maka rambut wanita itu digunduli dan dokter selanjutnya menyorongkan bawang dan air suci kewajah wanita itu. Namun hal itu justru menjadikan wanita itu semakin menjerit-jerit ketakutan.

Dokter itupun berteriak, “Setan telah merasuki kepalanya.”

Dia segera mengambil pisau dan menyayatkan tanda salib diatas kepalanya. Darahpun mengalir dan tampak tulang kepala karena sayataan. Selanjutnya, dituangkan garam diatas lukanya. Wanita itupun tidak lama mati karena kesakitan.

Meski demikian, catatan perjalanannya juga memuat beberapa teknik pengobatan Frank yang dianggapnya bermanfaat.

Selain itu, bangsa Franks dikenal karena keberanian dan jiwa kewiraannya. Ibnu Munkidz memiliki beberapa kenalan para ksatria Franks. Dari para ksatria inilah, dia dipanggil dengan sebutan, “saudara”. Bahkan dirinya kerap mendapat bantuan dari sebagian mereka jika diserang.

Dalam catatannya, Usamah mengatakan:

“Orang-orang akan melihat mereka laiknya binatang yang tidak hanya memiliki kekuatan dan mampu menanggung beban namun juga kemampuan dan keberaniannya dalam berperang. Mereka tidak memiliki rasa cemburu maupun sikap heroism, namun semata keberanian.”

Nampaknya pengamatan Ibu Munkidz ini tidak beda jauh dengan pandangan Anan Komnena, anak perempuan Kaisar Byzantium Alexious Komnenos I.

Dia dikutip mengatakan bahwa penduduk Franks pada dasarnya orang yang keras kepala, tidak mudah ditundukkan, tidak tahu tentang disiplin dan teknik berperang, namun ketika berperang, jiwa keberanian mereka tampak menggelegak sehingga sulit dikendalikan.

"Ini tidak hanya kepada para tentara mereka namun juga serupa dengan para pemimpin mereka yang akan menyerang musuh-musuh mereka dengan kekuatan penuh.”

Pandangan ini juga tidak jauh berbeda dengan pengamatan sejarahwan Arab, Al Masudi (896-956) yang lebih awal ketimbang keduanya. Dia berkesempatan berkeliling Eropa dan dalam pengamatannya, penduduk Franks memiliki temperamen keras, tindakannya vulgar, tidak cerdas dan tidak begitu taat dalam beragama.

Dikisahkan, suatu ketika, Ibnu Munkiz menyaksikan sendiri kemarahan seorang pria Franks, pemilik bar minuman demi melihat isterinya tidur disamping pria lain.

Dia memarahi pria itu, “Mengapa kamu berani tidur disamping isteriku.”

Pria itupun menjawab singkat, “Saya kecapaian sehingga saya butuh istirahat.”

“Tapi bagaimana kamu masuk kamar tidur saya?” selidik pemilik bar itu.

“Karena saya lihat kasur, maka saya tidur begitu saja,” jawabnya.

“Tapi isteriku tidur disampingmu?” selidiknya lagi.

“Bagaimana saya menolak karena kamar ini miliknya,” jawab pria itu lagi.

“Demi Tuhan, jika kamu melakukannya lagi kami akan bertindak,” ucapnya kesal.

Ibnu Munkiz sangat heran dengan sikap sang pemilik bar itu berikut argumen pria yang tidur disamping isterinya. “Kemarahan dan kecemburuan pria Franks hanya sebatas itu saja, “ kritiknya.

Yang menarik, ada pandangan dari Usamah Ibnu Munkiz bahwa sebenarnya Islam lebih berhak menjadi pewaris kawasan Mediteranian ketimbang bangsa Franks yang menjadi pewaris Kekaisaran Bizantium setelahnya. Bukan semata alasan ideologis, namun lebih dari itu karena kontribusi hukum, institusional dan etik umat Islam.

Ditulis kembali dari sumber worldbulletin. DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About MUSLIMINA

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment