Brexit: Akankah Jadi Ajal Sang Penjagal Utsmani?


Oleh:
Aab Elkarimi*

Keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa menjadi isu hangat dunia internasional saat ini. Britain Exit yang kemudian dikenal dengan istilah Brexit merupakan sebuah perdebatan dari langkah strategi-politis Inggris dalam perebutan dominasi di eropa yang tidak sederhana. Hal ini telah memunculkan konflik yang juga tidak sedikit dampaknya. Terkotaknya masyarakat inggris menjadi dua bilah senjata yang saling tikam, peperangan antar media masa dan politikus, tak kalah juga terkubunya para korporat dan mencuatnya rasisme.

Dalam sebuah analisa serius, hal ini merupakan sebuah gejala krisis sistemik yang amat dalam yang sangat wajar terjadi di kalangan masyarakat eropa yang mewarisi tradisi nasionalisme fanatik sejak zaman dulu. Hal inilah yang membuat salah satu pemikir Islam, Hasan Ali Nadwi, menyinggung keras tipikal dunia barat, khususnya eropa, sebagai dunia yang dipenuhi tendensi domestik atas dalih nasionalisme yang bagi saya ibarat berebut dengus babi besar.

Pasca perang dunia ke dua Inggris bukanlah satu-satunya negara yang tanpa masalah. Meski secara pendapatan Inggris memiliki pendapatan bersih rumah tangga tertinggi yaitu £ 35.730 ($ 56.000) per tahun, lebih dari £ 10,000 ($ 16,000) di atas rata-rata Eropa namun hal ini tidak berbanding dengan biaya hidup yang sangat tinggi. Sebuah keterangan jujur dari Ann Robinson, Kepala kebijakan konsumen di salah satu perusahaan inggris kiranya mampu menggambarkan bagaimana keadaan perekonomian Inggris.

“Kami mempunyai pendapatan jauh lebih besar daripada tetangga Eropa kami, namun tingkat pendapatan ini diperlukan hanya untuk menyimpan atap di atas kepala kami, makanan di meja dan untuk membuat rumah kita hangat,”

Berdasarkan pertimbangan ekonomi pula lah yang menjadikan Inggris menimbang ulang untuk keluar dari zona Uni Eropa di samping juga banyak pertimbangan lain yang lahir. Namun yang jadi titik tekan di sini adalah tentang tipikal Inggris yang licin secara strategi politis untuk melancarkan ambisi besar hegemoni dan dominasi negaranya. Pasalnya telah menjadi rahasia umum dikalangan pemerhati konstalasi politik internasional bahwa Inggis selalu ingin melemahkan kesatuan Eropa dan disaat yang bersamaan memandang Uni Eropa dari sudut pandang kepentingannya sendiri dan Inggris bekerja untuk mengubah Uni Eropa demi kepentingannya.

Tipikal licin seperti inilah yang menjadi gaya khas politik luar negeri Inggris sebagai sesuatu yang hampir ndablek turun temurun, yang pahit juga untuk kita kenang, dengan cara yang hampir sama Khilafah Utsmaniah telah berhasil mereka penggal.

Namun bagaimana pun inggris bersiasat, satu fakta yang tak bisa dihindarinya adalah tentu tentang permasalahan krisis sistemik yang menjalar di hampir semua negeri eropa. Krisis sistemik itu berupa nasionalisme fanatik yang akan semakin memungkinkan pula negara lain seperti Prancis, jerman, Yunani, Irlandia dan negara eropa lain juga melepaskan diri manakala kalkulator matematis ekonomi mereka memandang rugi. Hal ini cukup membuktikan bagaimanapun mereka susah payah bersatu di bawah naungan Uni Eropa tidak mampu menjawab entitas mereka sebagai bangsa yang secara historis sangat ashobiyah.

Jika kaum muslimin berpikir lebih dalam, bukankah dulu pada detik-detik runtuhnya Utsmani gelombang gagasan nasionalisme oleh Inggris dan Prancis begitu digalakkan dengan dalih sang Sultan tidak mampu meratakan kesejahteraan? Sebetulnya siapakah yang harus belajar saat sang pemecah itu hanya dalam waktu kurang lebih satu abad juga sudah kepayahan dengan gagasannya sendiri?.(shalihah) DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment