Doublespeak Menlu Irak Ibrahim al Jafaari Tentang Pembersihan Sektarian


Menteri Irak Ibrahim Al Jafari  menyatakan bahwa dunia sekarang menghadapi Perang Dunia Ketiga melawan terorisme.

“Terorisme kini mencapai level kekerasan di seluruh dunia, yang tidak tertandingi dalam totalitasnya,” tandasnya.

Kembali menurut Al Jafari, Irak tidak meminta bantuan negara-negara dunia untuk mengirimkan pasukan perangnya untuk melawan Daesh, namun hanya memberikan dukungan sekuat mungkin bagi upaya pemerintah Irak memerangi terorisme. “Irak sekarang sedang memerangi terorisme untuk kepentingan dunia,” tandasnya dalam seminar di Royal United Services Institute (RUSI), London.

“Kami menyerukan masyarakat internasional untuk membantu Irak menarget negara-negara yang dianggap membiayai, melatih dan mendidik para teroris,” serunya. Seruan yang tampaknya secara implisit diarahkan pemerintah  Irak kepada beberapa negara aktor penting di kawasan tersebut, yakni Arab Saudi, Qatar dan Irak.

Jaafari mengkritik keterlibatan pasukan Turki di Bashiqa Irak dan menyebut keberadaan pasukan Turki tersebut sebagai operasi militer ilegal tanpa meminta ijin dari Baghdad. Dalam konteks itu, Liga Arab untuk pertama kalinya dalam sejarah, secara aklamasi meminta Turki keluar dari wilayah Irak. Jaafari menyebut keberadaan pasukan Turki di Bashiqa tidak membantu dan mendestabilisasi wilayah Irak.

Sementara menurut Turki, keberadaan pasukan Turki di Bashiqa adalah karena permintaan pemerintah regional Kurdistan (KRG) untuk melatih pasukan Peshmerga dalam rangka melawan Daesh. Baik Turki dan KRG menjadi sekutu AS dalam memerangi kelompok Daesh.

Hanya saja, pernyataan Ibrahim Jaafari tidak pelak meninggalkan beberapa komplikasi, distorsi dan inkonsistensi dalam kebijakan pemerintah federal di Baghdad yang dikuasai kubu Syiah pro Iran. Karena pada saat bersamaan, Irak juga mengijinkan penempatan pasukan Iran di wilayahnya untuk terlibat dalam Perang Saudara di Suriah dan juga membantu tentara Irak memerangi Daesh di wilayahnya sendiri.

Dalam forum itu, Al Jaafari berulang kali menegaskan bahwa Irak kini adalah negara “demokrasi” dan menjamin rakyat Irak perihal keseriusan pemerintah untuk melakukan reformasi. Kembali Jaafari gagal menjawab pertanyaan yang diajukan peserta tentang fakta pembersihan kelompok sunni dari para milisi Syiah di Irak yang didukung atau setidaknnya dibiarkan pemerintah, sehingga mengakibatkan jutaan orang mengungsi. Bahkan, seperti disampaikan dalam pertanyaan tersebut, kasus tersebut terjadi sebelum munculnya isu Daesh.

Dalam perspektif hukum internasional, pengusiran dan pemindahan secara paksa penduduk sipil  di provinsi Diyala, Shalahuddin, Anbar dan beberapa provinsi lainnya melanggar hukum internasional dan dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.

Jaafari tidak menjawab pertanyaan tersebut dan hanya mengatakan bahwa “Saya sendiri lari dari Irak untuk membebaskan diri dari kediktatoran Saddam Hussein. Irak adalah negara demokrasi dan rakyat lari dari Daesh bukan dari pemerintah.”

Ibrahim al Jaafari tampak tidak menjawab pokok permasalahan dan mengabaikan fakta bahwa kehancuran kota Ramadi dan disusul mengungsinya penduduk mayoritas Sunni dari kawasan tersebut menjadi salah satu contoh dari tindakan pengusiran yang dilakukan oleh para milisi Syiah dukungan Iran dan pemerintah Irak sendiri.(permatafm) DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment