Rohingya, Heningnya HAM, dan Teriakan Kemanusiaan


Tahun lalu duta besar Myanmar untuk Indonesia, U Aung Htoo pernah menuturkan sejarah Rohingya. Dia menuturkan bahwa etnis Mohamadin (Rohingya sebelum tahun 1990) tinggal secara tidak tetap di daerah Rakhine, baru tahun 1970 etnis ini datang sebagai imigran lalu menetap secara permanen.

Akar historisitas ini yang mungkin menjadi dalih Myanmar untuk semena-mena melanggar perikemanusiaan dan perikeadilan di Rakhine saat ini sejak beberapa tahun yang lalu. Namun ada satu hal yang perlu diulas kembali oleh mereka yang berdalih demikian untuk bercermin sebagai negara ASEAN.

Myanmar adalah negara yang pernah merasakan penderitaan sebagai kawasan yang pernah dijajah sebelum merdeka menjadi sebuah negara. Oleh sebab itu Myanmar memutuskan untuk bergabung dalam ASEAN bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya yang senasib pernah merasakan penderitaan sebagai status jajahan selain dari faktor lain seperti geografis dan kebudayaan.

Akar historisitas ini juga memberikan pressing kepada negara anggota ASEAN untuk menjunjung tinggi kemanusiaan sesuai dengan tujuan ASEAN poin kedua bahwa negara-negara anggota harus memajukan stabilitas dan perdamaian regional Asia Tenggara.

Dewasa ini, publik menilai bahwa apa yang terjadi di Rakhine adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap suku, etnis atau kelompok dengan tujuan memusnahkan (membuat punah) suku, etnis atau kelompok tersebut atau yang sering disebut dengan genosida. Kekejaman genosida lebih kejam dan biadab dari penjajahan, jika penjajahan harus dihapuskan maka demikian pula dengan genosida.

Publik kembali dikejutkan dengan tolakan Aung San Suu Kyi sebagai pimpinan de facto Myanmar atas keputusan Dewan Keamanan PBB untuk menyelidiki dugaan kejahatan yang dilakukan militer Myanmar terhadap warga Rohingya. Bagaimana mungkin kita dapat percaya akan historis yang dituturkan oleh Dubes Myanmar di alenia pertama tadi, walaupun demikian tentu atas dasar kemanusiaan Rohingya layak untuk hidup dan diakui sebagai manusia yang memiliki HAM.

Sampai disini kita telah menemukan dua hal yang bertentangan dengan apa yang terjadi terhadap Muslim Rohingya saat ini. Pertama bahwa Myanmar patut dikeluarkan dari keanggotaan ASEAN sebagai penjahat kemanusiaan dan kedua, pencabutan nobel perdamaian yang pernah dianugerahkan terhadap pemimpin de facto Myanmar Aung Kyi.

Opini yang terbangun dipublik seperti di atas dapat bias sewaktu-waktu jika pemimpin-pemimpin negara terutama kawasan Asia Tenggara tidak menyatakan sikap atau kecaman atas pembantaian tersebut. Tentu hal ini menjadi kabar yang ditunggu-tunggu sebagian besar masyarakat Indonesia. Mengapa demikian, perlu diketahui bahwa langkah yang dilakukan oleh Negara Indonesia saat ini jauh dari apa yang diharapkan, sebab hanya melakukan aktivitas yang biasa dilakukan oleh LSM seperti pendirian rumah sakit dan fasilitas pendidikan.

Sekali lagi ditegaskan bahwa ini bukan perang antar suku, agama dan etnis melainkan pembantaian, pemusnahan atau genosida. Pemimpin negeri ini harus berteriak lantang menyatakan sikap yang seperti apa atau kecaman atas peristiwa berdarah tersebut karena di hadapan dunia selama ini negara Indonesia menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan.

Berdasarkan ulasan di atas maka beberapa hal yang menjadi tanggung jawab moral bangsa ini untuk bersuara, menyatakan sikap dan muncul sebagai pemimpin ASEAN dan negara yang berdaulat atau melakukan sikap atas tindakan diplomasi, adapun tanggung jawab moral tersebut adalah :

  • ASEAN merupakan penghimpun negara-negara di Asia Tenggara yang bertujuan untuk memajukan stabilitas dan perdamaian dikawasan regional ASEAN.
  • Dalam Pancasila pada sila kedua tentang kemanusiaan harus dijunjung tinggi oleh negara Indonesia dihadapan dunia.
  • Indonesia harus menunaikan amanat pembukaan UUD 1945 tentang penolakan segala bentuk hal-hal yang bertentangan dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan.
  • Genosida merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan Hak Azazi Manusia (HAM).
  • Indonesia merupakan negara dengan jumlah Muslim terbesar didunia dan merupakan negara cinta perdamaian yang menerapkan politik luar negeri bebas-aktif.
Penulis: Ari Juliansyah (Aktivis DPD IMM Babel)

Sumber : Kiblat DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment