Bohongi Rakyat dengan HOAX, PKI Ngakunya “Partai Kiai Indonesia”


Budayawan Betawi Ridwan Saidi yang hidup di era Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebutkan, partai tersebut mulai gencar melakukan teror sejak 1961 hingga akhirnya mereka di’gulung’ oleh rakyat. Karena itu, apabila saat ini PKI betul-betul muncul kembali, hanya ada satu kata. “Lawan!” ungkap pria berusia 75 tahun itu di teras rumahnya Kamis (28/9).

Dengan menggunakan sarung dan kemeja tanpa dikancing, Ridwan bercengkrama dengan Republika.co.id tentang apa saja yang pernah ia alami ketika muda dulu terkait keberadaan PKI. Menurutnya, banyak kebohongan dan fitnah yang PKI lakukan terhadap musuh-musuhnya.

“Awalnya, tahun 1952 mereka direhabilitasi oleh Soekarno setelah pemberontakan Madiun dengan cara para tokoh PKI diterima menghadap ke Istana. Aidit, Lukman, Tan Ling Djie, mereka diterima oleh Bung Karno,” kata dia.

Setelah itu, PKI melakukan persiapan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 1955. Menurut Ridwan, mereka mengerahkan gelandangan pengemis untuk mendukung mereka. PKI memenuhi Jakarta dengan yang Ridwan sebut gembel.

“Penuh Jakarta itu dengan gembel, dan mereka diproses oleh jaringan PKI di kelurahan untuk mendapatkan KTP. Sehingga, hasil Pemilu itu, PKI menduduki posisi keempat untuk pemilihan anggota DPR,” ungkap Ridwan.

Pada Pemilu 1955 tersebut, tiga partai di atas PKI adalah PNI, Masyumi, dan NU. Akan tetapi, pada saat pemilihan DPRD, PKI naik menjadi peringkat kedua.

Ridwan menjelaskan, dalam kampanyenya itu, PKI melakukan suatu kebohongan kepada masyarakat. Saat itu, mereka berkata kepada masyarakat, PKI itu singkatan dari Partai Kiai Indonesia. Bahkan, mereka berkampanye menggunakan gambus.

“Kampanye mereka pakai gambus waktu itu. Itu sudah melakukan kebohongan-kebohongan di situ. Kampanyenya juga menyerang pribadi, dulu nggak ada aturannya kan. Dia melempar kebohongan-kebohongan,” tutur dia.

Kemudian, Ridwan mengatakan, PKI melakukan banyak aksi yang sebetulnya merusak ketentraman kerja di perusahaan-perusahaan swasta. Saat itu, PKI ingin menasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta. Padahal, tidak semua perusahan swasta itu milik pemerintah Hindia-Belanda.

“Kan ada aturan hukum untuk mengambil alih. Macam-macam perusahaan itu, didemo terus-menerus membawa kegelisahan. Sejak 1957, dia terus melakukan aksi-aksi demikian hampir setiap hari,” kata dia.

Pada 1960, Undang-Undang (UU) Agraria dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia. Menurut Ridwan, UU tersebut merupakan UU yang bagus. Tapi, dia bingung karena PKI justru menolaknya. Mereka lebih memilih mematok tanah secara sepihak.

Salah satu peristiwa yang ia ingat adalah Peristiwa Bandar Betsi. Peristiwa itu terjadi tahun 1965. Kala itu, menurut Ridwan, terbunuh seorang TNI, Peltu Sudjono karena mencegah usaha PKI merampas tanah di Bandar Betsi.


“Anehnya, mereka tidak mendukung. Dia lebih mau aksi sepihak duduki tanah di mana-mana sampai terjadi bentrokan fisik dan ada korban lah seperti Bandar Betsi di Sumatera Utara. Itu yang mengherankan saya, kok dia nggak mau UU agraria,” ungkap dia.

Ridwan mengaku, pada masa itu bisa dibilang mahasiswa yang sedang berada di kampus untuk kuliah merasa tidak nyaman. Itu karena saat itu harus berhadapan terus-menerus dengan PKI. Terutama para anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

“Dia menuntut pembubaran HMI kan. Dengan aksi yang terus menerus hampir setiap hari. Kan mereka pengangguran, siap aksi,” kata dia.

Saat itu, Ridwan tergabung ke dalam HMI. Ia juga menceritakan ketidakadilan PKI melalui kelompok-kelompoknya terhadap organisasinya tersebut kala itu. Seperti menahan undangan acara kenegaraan yang seharusnya juga diikuti oleh pihaknya saat itu.

“Kita mengalami bagaimana mereka menguasai Front Pemuda. Itu kan federasi dari seluruh ormas pemuda. Kita selalu nggak dapet undangan kalau ada acara kemerdekaan, sumpah pemuda dan lainnya itu,” tutur dia.

Saat itu, HMI merupakan anggota dari Front Pemuda. Namun, Front Pemuda itu, kata dia, dikuasai oleh Pemuda Rakyat. Pemuda Rakyat merupakan kelompok sayap milik PKI.

Menurut Ridwan, pernah ada kegiatan Rapat Raksasa Merebut Irian Barat. Ketika itu, pihaknya tidak mendapatkan undangan untuk kegiatan tersebut. Ia menyebutkan, hal itu dilakukan agar HMI dipandang sebagai organisasi yang kontrarevolusi.

“Kan dulu tuduhannya itu HMI kontrarevolusi, ‘liat aja tuh Rapat Raksasa Merebut Irian Barat kagak ngikut’. Padahal mah nggak diundang,” tutur dia.

Meski demikian, Ridwan dan beberapa kawannya tetap datang dengan cara menyelusup ke dalam acara-acara tersebut. Seperti contohnya saat diadakan acara Pidato Bung Karno yang diselenggarakan oleh Front Nasional.

“Misal gini, dia kalau ada acara nasional, tau-tau kita muncul padahal sudah dihadang. Kita duduk deket-deket die kelompok PKI, Gerwani segala macem,” cerita Ridwan.

Melihat HMI yang sudah dihadang tapi bisa masuk ke acara tersebut, menurut Ridwan, kelompok-kelompok sayap PKI tersebut mulai menyanyikan lagu Nasakom Bersatu Hancurkan Kepala Batu. Tapi, kemudian ia dan teman-temannya membalas lagu tersebut dengan Garuda Pancasila.


“Kan kita dengan cara melewati gerbang baru kita pakai atribut. Baru deh dihajar pakai lagu, ya kita bales dengan Garuda Pancasila, hahahahaha,” katanya seraya tertawa.

Peristiwa terparah

Lalu, Ridwan menceritakan beberapa hal yang ia ingat tentang tindak tanduk PKI saat itu. Ia mengingat beberapa hal yang menurutnya paling parah yang pernah dilakukan oleh PKI terhadap lawan-lawannya yang tak sepaham.

Pada saat itu, kata dia, PKI menguasai Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Mereka kemudian mengganggu perjalanan kereta api yang sudah penuh sesak dengan penumpang di dalamnya. Menurut Ridwan, dari Jakarta menuju Cirebon bisa ditempuh hingga 11 jam karena gangguan itu.

“Macam-macam (ganggunya) banyak berhentinya kereta itu. Bagaimana tiba-tiba ada bendera merah, kan kalau begitu berhenti kereta,” tutur dia.

Menurut dia, saat itu perjalanan menggunakan kereta tak ada yang nyaman. Walaupun memang saat itu keadaan kereta api tak senyaman sekarang, apa yang ada dipikiran masyarakat saat itu adalah yang penting sampai ke tempat tujuan terlebih dahulu.

“Kalau misalnya sesek sih udah lah ye kita alamin jongkok juga susah, apalagi diri. Tapi persoalannya itu lambat karena berhenti terus dan kita tidak mengerti kenapa berhenti,” ungkap dia sembari meminum kopinya.

Selain buruh kereta api, menurut dia, buruh-buruh pelabuhan juga sering dikerahkan untuk mogok kerja oleh PKI. Sehingga, angkutan barang itu sering terlambat di pelabuhan. Akibatnya, ekonomi mengalami kelumpuhan saat itu.

“Ekonomi dilumpuhkan juga saat itu. Tahun itu mulai aksi tahun 61 sampai 65. Tahun itu mereka gencar-gencarnya melakukan aksi sampai akhirnya digulung sama rakyat,” kata Ridwan.

Ridwan juga mengalami langsung penyabotasean kegiatan dakwah oleh PKI. Kala itu, tahun 1964 ia mengikuti kegiatan Isra Miraj di daerah Pademangan, Jakarta Utara. Acara yang seharusnya mulai jam delapan malam, mundur hingga pukul setengah satu malam.

“Mereka mengerahkan masa dan menuntut pidato saat itu. Banyak mereka mengaku RT, RW, atau apa dulu RK segala macam bergantian pidato dari jam delapan sampai setengah satu die borong,” kata dia.


Akibatnya, ketika itu tidak ada yang bisa berpidato. Tapi, Ridwan bersama dengan Mayor Yunan Hilmi Nasution dari Pusat Rohani Angkatan Darat tetap melakukan kegiatan tersebut. Keduanya berjanji saat itu untuk bertahan karena umat sudah bubar.

“Kata Pak Yunan ke saya, ‘kita jangan bubar, kita bertahan di sini. Nanti, ketika giliran saudara pidato saya yang dengar tidak apa-apa. Giliran saya yang pidato, saudara yang dengar’. Itu terjadi,” jelas Ridwan.

Benar saja, mereka berdua bertahan hingga acara selesai dan berpidato. Kemudian acara selesai pukul 01.30 WIB. Ridwan bersama temannya kembali ke rumahnya di bilangan Sawah Besar menggunakan becak.

Di lain waktu masih pada era mencekam itu, di daerah perkampungan rumahnya, disebarkan selebaran berisi daftar orang-orang yang harus dipotong lehernya. Ayahanda Ridwan menjadi salah satu orang yang ada di dalam daftar tersebut.

“Mereka mengedarkan selebaran di kampung masing-masing yang isinya orang-orang yang mesti dipotong. Termasuk bapak saya. Iya (karena musuh tidak sepaham). Itu teror dia,” ujar Ridwan.

Soal fitnah yang paling besar oleh PKI, menurut Ridwan, adalah fitnah yang dialami oleh Buya Hamka, Ghazali Sahlan, dan Dahlari Umar. Mereka bertiga menghadiri acara khitanan di Mauk, Tangerang. Acara khitanan anak dari salah satu tokoh Masyumi di Mauk bernama Ismaun.

“Lantas PKI melaporkan di sana itu diadakan rapat gelap. Padahal menghadiri khitanan. Ditangkap mereka itu dan baru keluar tahun 1966,” kata dia.

Kala itu, Ridwan sempat membesuk salah satu tahanan, yaitu Ghazali Sahlan. Saat itu Ridwan diajak oleh anak Ghazali Sahlan setelah mendapatkan surat dari sang bapak. Ridwan pun melihat suratnya langsung dan melihat kondisi Ghazali Sahlan di penjara.

“Ghazali Sahlan mulutnya disetrum. Selama enam bulan dia cuma makan tetesan air pisang ambon saat ditahan oleh PKI, ya kita anggap PKI-lah. Rezim waktu itu kan dikuasai PKI,” tutur Ridwan.

PKI bangkit, lawan!

“Itulah PKI seperti itu. Mau lagi dikembalikan yang seperti itu sekarang?” kata Ridwan cukup sering di tiap akhir ceritanya tentang apa yang dilakukan PKI saat itu.

Mengenai isu kebangkitan PKI yang merebak saat ini, ia hanya mengatakan satu kata kepada Republika.co.id, yaitu “Lawan” tadi. Menurutnya, tidak perlu ada omongan macam-macam.

“Dalam bentuk apa pun, tergantung dia mau main cara apa, kita hadapi. Dulu saja kita lawan, sekarang apalagi?” kata dia.

Ridwan mengatakan, janganlah PKI bermimpi untuk bangkit lagi. Menurutnya, upaya pelurusan sejarah tak perlu dilakukan karena ketika itu, kedua belah pihak antara PKI dan non-PKI kondisinya sedang berperang.

“Ini kan perang, dia kalah ya udah dong nyerah nggak usah diomongin lagi. Terang saja dong, bentrokan ada korban,” ungkap Ridwan.

Ia juga mengatakan, pelarangan organisasi PKI merupakan konsekuensi terhadap apa yang telah mereka lakukan sebelum-sebelumnya, bukan di tahun 1965 saja. Seperti di tahun 1948, aksi pembantaian pada pemberontakan Madiun.

Menurut Ridwan, korbannya bukan saja ulama, tetapi juga yang lain, seperti orang tua Sri Bintang Pamungkas. “Dia nggak hitung korban dari pihak kite? ya kan? Saya nggak tertarik ngomongin ini. Jangan sok jago dong kalau nggak mau ada korban,” terang Ridwan.[republika]. DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment